Sendal Jepit Saiful

Namanya Saiful Amri. Ia berasal dari sebuah desa di pelosok Temanggung, kurang lebih satu jam perjalanan naik motor dari pusat kota. Karena jalan yang menanjak dan berkelok, perlu motor atau mobil dengan stamina mesin yang prima untuk bisa sampai ke sana dengan selamat. Tidak heran jika ayah Saiful menggunakan motor trail setiap menjenguk saiful ke pesantren. Kadangkala juga terlihat menggunakan Honda Win 100 berplat merah, motor dinasnya sebagai kepala desa.

Fahrudin adalah teman karib Saiful. Di mana ada Saiful, pasti ada Fahrudin. Di dapur, bersama. Antri mandi, bersama. Di jemuran, bersama. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tetapi ada suatu fase di mana persahabatan mereka sedikit retak. Seseorang pasti menginginkan hal terbaik untuk sahabatnya, meskipun seringkali caranya tidak bisa diterima.

Suatu saat sendal jepit saiful sudah terlihat uzur. Warna serampat yang semula berwarna merah terang sudah terlihat kusam kehitam-hitaman. Hal tersebut masih bisa diterima oleh Fahrudin, walaupun sebenarnya cukup mengganggu dia juga. Sudah sering ia mengingatkan Saiful untuk menjaga penampilan. Toh uang Saiful banyak. Jangankan satu pasang sendal jepit, untuk membeli satu kodi punj sisa. Tetapi Saiful selalu punya dalih untuk mengelak.

Sampai suatu saat kesabaran Fahrudin habis. Sendal jepit tadi bukan hanya sudah usang dan berubah warna, serampat bagian depan, yang dijepit jempol dan telunjuk, tampak disambung kawat. Sendal tersebut putus, tetapi Saiful tetap tidak mau beli sandal yang baru.

“Pul, kamu kan punya duit, mbok beli sandal jepit baru.”

“Eh Din, ini namanya zuhud, mengesampingkan urusan dunia.”

Dalih zuhud selalu menjadi senjata andalan Saiful untuk mengelak.

Akhirnya Fahrudin punya ide brilian. Ide yang ternyata akan meretakkan hubungan mereka dalam beberapa bulan berikutnya.

Pukul lima sore semua santri sudah harus ada di masjid untuk membaca kitab suci. Tidak terkecuali Saiful dan Fahrudin. Meskipun sudah kelas empat, setara kelas satu SMA, sudah lumayan senior, ia tetap harus mengikuti aturan tersebut.

Diam-diam Fahrudin keluar dari masjid, menuju rak sendal di depan kamar Saiful. Nyaris tanpa perlu waktu, ia langsung menyambar sendal butut milik Saiful. Ia berjalan cepat menuju jemuran yang ada di depan kamar mandi yang berbatasan dengan sawah belakang pesantren yang hanya dibatasi pagar besi setinggi dua meter. Setelah merapal lafadz basmallah, dengan penuh tenaga Fahrudin melempar sendal tersebut melompati pagar. Sendal tersebut mendarat di semak-semak pohon jagung.

----------------------

Keesokan paginya, bakda subuh, Saiful berjalan melintasi halaman olahraga. Ia berjalan dari arah barat laut. Di sana ada lapangan dan kantin. Fahrudin yang tengah bermain bola voli bersama teman yang lain langsung berjalan mengejar Saiful, mengambil posisi di samping kanannya.

“Darimana, Pul?”

Saiful tidak menjawab. Sambil berjalan lebih cepat dan dengan wajah penuh amarah. Fahrudin berhenti menyadari keanehan tersebut. Ia melihat sandal jepit baru berwarna Hijau sudah bertengger di bawah kaki Saiful.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar