Perihal Nama Anak Kiai

Masa remaja saya habiskan di kabupaten Temanggung. Saya nyantri di salah satu pesantren di sana, di Pondok Modern Assalaam. Tamat enam tahun, setingkat SMP dan SMA. Banyak yang bilang mondok di pesantren itu terkekang, tidak bebas, tidak punya privasi dan istilah lain yang memiliki makna serupa. Bisa benar, bisa salah. Tergantung dari keluarga seperti apa dia berasal.

Jika asal keluarganya orang berkemampuan ekonomi yang baik, tentu akan merasa tersiksa hidup di pesantren yang serba sederhana. Jika dia berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, tidak masalah hidup di pesantren, toh sama-sama hidup sederhana. Kalau dia dari keluarga tidak mampu, akan lebih terjamin hidupnya di pesantren. Banyak teman saya di pesantren berasal dari keluarga tidak mampu. Biaya pesantrennya ditanggung oleh orang tua asuh. Ini dari kondisi ekonomi keluarga.


assalaam temanggung,nadia tahsinia,
Kedatangan pertama kali ke pesantren

Permasalahan betah dan tidak memang tidak terbatas pada masalah ekonomi saja, banyak hal lain turut berpengaruh. Saya betah enam tahun di pesantren karena senang memiliki banyak teman. Usia remaja biasanya banyak diwarnai oleh makhluk bernama teman. Di pesantren hidup 24 jam nonstop bersama teman-teman. Kurang enak bagaimana coba?

Saya merasa di pesantren malah lebih bebas daripada di rumah. Jadi tidak sekalipun selama enam tahun itu saya ingin keluar dari pesantren. Saat itu banyak teman-teman yang menangis ketika dijenguk orang tua. Banyak yang tidak kerasan dan ingin pulang. Saya malah sangat betah di sana. Bisa berbulan-bulan tidak pulang ke rumah meskipun ada jatah pulang.

Sudah 16 tahun saya lulus dari pesantren. Adik saya yang gantian masuk ke sana. Dia saya masuk Madrasah 'Aliyah (setingkat SMA). Dulu SMP nya di pondok pesantren Ihsanul Fikri, pesantren yang cuma berjarak satu kilometer dari rumah. Karena ingin mencari tantangan baru, adik saya hijrah ke kota tembakau.

Ada kejadian yang membuat agak tidak enak hati. Di tulisan ini saya klarifikasi sekalian. Kiai saya memiliki putri yang juga sekolah di sana. Adik tingkat saya dua tahun kalau tidak salah. Namanya bagus, Nadia Tahsinia. 

Tahun 2005, tahun ketika saya lulus dari pesantren, berbarengan dengan kelahiran adik saya. Bapak menanyakan usulan nama yang bagus buat adik saya. Sontak saya jawab "Nadia Tahsinia." Bapak pun setuju. Tok tok, palu diketuk. Saya tidak berpikir bahwa hal ini akan berbuntut panjang di kemudian hari.

Beberapa teman menerka-nerka bahwa saya dulu "ngefans" anak kiai tersebut. Itu tidak benar. Saya bahkan tidak kenal dan tidak hafal wajah "Nadia Tahsinia versi 1" tersebut. Kalau dengar namanya sih sering, karena dia anak kiai. Santri kudet macam apa yang tidak tahu nama anak kiainya. 

Murni karena menurut saya namanya bagus. Dari bahasa Arab tetapi dengan sedikit penyesuaian dengan bahasa Indonesia. Seperti yang sudah diperkirakan, tidak ada teman saya yang percaya penjelasan saya tersebut.

Dan... tahun ini adik saya, yang bernama sama dengan anak kiai saya, masuk ke pondok pesantren tempat saya mondok. Saya tidak bisa berpikir bagaimana anggapan guru-guru karena nama adik saya sama dengan nama anak kiainya. Mayoritas guru-guru saya waktu itu masih mengajar di sana sekarang.

Kebetulannya lagi, santriwati baru yang menggunakan nama tersebut ada dua orang. Adik saya dan seorang lagi. Saya curiga kakak "Nadia Tahsinia versi 3" ini dulu ngefans sama anak kiai saya.hehe

Tapi ya sudahlah. Sudah tidak penting untuk dibahas. Tulisan ini sebagai klarifikasi saja. Selamat belajar di sana, Adikku, "Nadia Tahsinia versi 2." 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar