Aku anak yang beruntung. Ayahku sangat menyayangiku. Ia sering
membelikan boneka doraemon sepulang dari pergi beberapa hari ke luar kota. Aku
sering bertanya kepada Ibu kemana ayah pergi. Kata ibu, ayah pergi bekerja. Aku
heran, Ical teman sebangkuku di sekolah ayahnya juga bekerja tetapi bisa pulang
setiap hari. Kenapa ayah tidak. Nanti kalau aku sudah dewasa pasti aku paham.
Aku pernah bertanya kepada ibu juga tentang apa pekerjaan ayah. Ibu
memberi tahuku sebuah kata yang saya susah kutirukan. Kata ibu, pekerjaan ayah
adalah membuat jalan-jalan aspal. Kadang membuat jembatan. Lain kesempatan
membuat bangunan puskesmas atau pasar. Hebat sekali pekerjaan ayah. Kalau sudah
besar nanti aku ingin bekerja seperti ayah. Membangun jalan-jalan aspal supaya
anak-anak desa bisa bersepeda tanpa takut kotor oleh genangan air selepas
hujan. Membangun jembatan agar anak-anak bisa ke sekolah dengan bersepeda tanpa
harus susah payah menyeberangi sungai berarus deras. Ayahku keren. Pokoknya,
kalau besar nanti aku ingin bekerja seperti ayah. Titik.
Seminggu yang lalu ayah pulang dari luar kota setelah tiga hari
tidak pulang. Ayah berbeda, ia tidak membawakanku boneka atau kotak pensil
bergambar Doraemon kesukaanku seperti biasanya. Bahkan menyapaku pun tidak.
Pakaiannya kusut. Wajahnya tegang. Sepanjang hari hanya berjalan mondar-mandir
saja di rumah seperti orang kebingungan. Sebentar-sebentar menelpon. Ibu pun
tidak digubris ketika menyapa ayah.
Ibu wajahnya murung. Matanya sembab. Aku tidak tahu apa sebabnya.
Ketika ku tanya ibu tidak menjawab, beliau hanya terisak sambil memelukku erat.
Itu terjadi setelah ibu menemani ayah menemui beberapa orang tamu. Aku tidak
tahu mereka siapa. Mereka berbincang serius dengan ayah dan ibu. Di atas meja
banyak kertas-kertas bertumpuk. Kertas penting sepertinya.
Suasana rumah sudah berbeda. Sekarang ayah sering mengacuhkanku.
Beliau selalu menunggui teleponnya yang berbunyi lima menit sekali. Ibu
sekarang juga menjadi pemurung. Sering kudapati ibu melamun sambil meneteskan air
matanya. Ya, ibu menangis. Padahal tidak ada yang menakali ibu. Kemarin lusa di
sekolah Mira menangis karena dinakali Wawan. Sedangkan ibu tidak ada yang menakali.
Kenapa beliau sering menangis ya sekarang?
Seperti biasa tadi siang aku pulang sekolah dijemput Pak Mamat,
sopir keluargaku yang mengantar dan menjemputku sekolah setiap hari. Begitu
masuk ruang tamu kulihat ibu sedang duduk termangu sendirian. Lagi-lagi matanya
sembab. Kudatangi untuk mengucapkan salam, ibu malah memelukku sambil
terisak-isak menangis. Aku gak tahu kenapa ibu sering menangis beberapa hari
ini. Sudah dewasa kok masih menangis.
Ayah tidak kutemui di rumah. Mungkin sudah berangkat bekerja lagi
seperti biasanya. Tapi kenapa ibu sedih ya. Bukannya ibu harusnya bahagia
karena ayah mencarikan ibu uang. Ibu bisa jalan-jalan, beli baju baru, atau
beli donat coklat kesukaan ibu. Entahlah, orang dewasa memang sering
membingungkan.
Sore ini di luar hujan. Ibu menemaniku menonton televisi. Tidak ada
acara bagus sebenarnya. Kalau bukan karena di luar hujan, aku pasti lebih
memilih bermain sepeda di halaman. Sore-sore begini acara televisi cuma berita
saja. Acara yang paling tidak kusukai.
Di acara berita ada tulisan yang cukup besar. Aku yang sudah mahir
membaca di sekolah mencoba mengeja huruf-huruf di layar tadi. Aku bisa
membacanya setelah berusaha beberapa saat. Tulisannya begini: Kontraktor Suap
Bupati Kota X. Aku tidak tahu apa artinya. Aku hanya baru bisa membacanya saja.
Mungkin kalau aku sudah dewasa bisa tahu apa artinya.
Tapi ada satu kata yang sepertinya aku pernah mendengar. Ya, aku
pernah mendengarnya dari Ibu. Kata kontrakor. Ibu pernah bilang kalau pekerjaan
ayah adalah kontraktor. Ya sekarang aku ingat. Tidak salah lagi. Ayah adalah
kontraktor. Pekerjaannya membangun jalan, jembatan, pasar, atau apapun untuk
membantu orang lain. Aku sekarang tahu cita-citaku. Ketika sudah besar aku
ingin seperti ayah menjadi Kontraktor.
Sudah seminggu ayah tidak pulang. Tidak seperti biasanya. Biasanya
ayah pergi ke luar kotatidak lebih dari tiga hari. Tapi ini sudah lebih dari
seminggu. Apakah jalan aspalnya sangat panjang sehingga ayah belum selesai
bekerja. Atau air sungainya deras sehingga jembatan yang dibuat belum kunjung
usai. Atau pasarnya sangat besar sehingga membangunnya butuh waktu lama.
Menjadi kontraktor seperti ayah memang sibuk sekali. Tapi tidak mengapa ayah
belum pulang. Biar anak-anak kecil seusiaku di sana bisa bersepeda dengan
nyaman di jalan yang halus tidak berlubang.
Ibu masih saja sering menangis. Malam ini kami menonton tv bersama.
Lagi-lagi berita soal kontraktor yang kulihat tempo hari. Aku bilang kepada ibu
dengan bersemangat, “Bu, aku ingin jadi kontraktor seperti ayah. Biar bisa
membangun jalan dan jembatan. Biar anak-anak sekolah tidak menyeberang sungai
dengan tali.” Ibu berkata dengan terbata-bata dan lagi-lagi air matanya
menetes, ”Nak, jadilah kontraktor atau apapun semaumu. Tapi jangan jadi seperti
ayahmu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar