Sore hari itu, Sarju terlihat murung.
Ia duduk di atas tembok setinggi satu meter yang memisahkan teras kamar mandi
dengan sedikit tanah kosong di sebelahnya. Tatapan matanya kosong meskipun
seakan ia sedang melihat hamparan sawah di hadapannya.
Sarju adalah adik kelas saya. Saya
kelas dua dan dia kelas satu. Sebagai kakak kelas yang baik tentu saja saya
merasa prihatin melihat keadaan sarju yang sedang gundah gulana. Saya
mendekatinya dengan maksud untuk menghibur dia.
“Kok kayaknya sedih banget, ada apa, Ju?”,
Tanya saya.
“emm.... gak ada apa-apa kok, Kak.”
Jawab Sarju dengan suara lirih
Budaya di pesantren saya, adik kelas
memanggil kakak kelas dengan sebutan “Kak”.
“Sudahlah, Ju. Gak usah bohong sama saya! Bayi
kambing pun tahu kamu lagi sedih. Ada apa? Ayo ceritalah sama aku! Siapa tahu
kamu jadi merasa lebih baik”
Sarju menatap wajah saya beberapa
saat. Mungkin ia sedang menimbang apakah akan bercerita kepada saya atau tidak.
“Begini kak, saya barusan diputusin
oleh pacar saya kak.” Setelah diam beberapa saat akhirnya Sarju bersuara.
“Lah, Cuma diputusin aja kok sampai
merana begitu. Tinggal cari cewek lain saja kan gampang. Kayak gak ada cewek
lain aja di bumi.”
“Perjuangan saya sudah terlampau
banyak buat dia, kak.”
Tanpa dia bercerita, saya sudah paham
maksudnya. Pacaran di pesantren sangat berbeda dengan di luar. Harus sembunyi-sembunyi.
Karena kalau sampai ketahuan oleh ustadz atau Mudabir, semacam OSIS, hukumannya
maha memalukan, rambut digundul plontos lalu dipajang di halaman.
Jadi jangan dipikir pacaran di
pesantren bisa macem-macem, surat-suratan tidak ketahuan saja sudah untung.
Sarju lalu menceritakan banyak hal
tentang perjuangannya ketika berpacaran. Saya mendengarkan dengan seksama
sambil sesekali mengomentari ceritanya. Sarju sudah tidak canggung lagi untuk
bercerita. Tampaknya ia mulai percaya dengan saya.
“Iya, kak. Makasih sudah mau
mendengar curhatan saya.”
Sama-sama. Memangnya kenapa pacar kamu minta
putus?”.
“Gak tahu, kak. Dia Cuma bilang kalau
dia tidak pantas untuk saya. Saya terlalu baik buat dia, katanya”
“Oalah, itu paling cuma alasan dia
saja. Dia pasti kecantol sama cowok lain.”
“Saya juga berpikir begitu, kak.”
“Ngomong-ngomong, pacarmu itu rumahnya mana, Ju?
“Magelang, kak. Kalau Kakak sudah
punya pacar belum?” Dia balas bertanya
“Sudah, Ju. Baru beberapa hari ini
jadiannya. Kebetulan pacar saya anak kelas satu juga, kebetulan dia juga dari Magelang.”
“Oh, kok bisa kebetulan banget gitu ya,
kak?”
“Iya, Ini fotonya kalau mau lihat.”
Kata saya sambil mengeluarkan foto seorang perempuan dari dompet.
Sarju melihat foto yang saya
tunjukkan dengan antusias.
Tetapi beberapa saat kemudian, air
mukanya berubah. Dia menatap saya tajam lalu pergi meninggalkan saya begitu
saja dengan wajah penuh amarah. Saya panggil berkali-kali ia ia tidak menyahut.
Sampai sekarang saya tidak tahu apa
sebabnya Sarju bisa begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar