Kartu Lebaran

Selepas Tarawih, Tarjo terlihat sedang duduk santai di balai-balai teras rumahnya. Sarung masih dikenakannya dengan asal-asalan. Pecinya tampak telah tergantung pada paku yang menancap di dinding kayu rumahnya. Tiga kancing baju teratas terbuka menandakan bahwa ia sedang merasa gerah.

Tak seberapa lama, Ranti, adik perempuannya, keluar dari dalam rumah membawa secangkir kopi yang dipesan Tarjo beberapa menit lalu.

“Ini kopinya, Mas.” Kata Ranti.

“Gulannya satu sendok seperi biasa kan?” Tarjo balas bertanya.


“Iya, Mas.” jawabnya sembari duduk di samping Tarjo.

Tarjo memposisikan hidungnya dekat di atas cangkir kopi, lalu menghirup aromanya dalam-dalam. Ritual tersebut selalu dilakukan Tarjo sebelum minum kopi. Mungkin ia melihat adegan tersebut di film Filosofi Kopi. Padahal yang ia minum hanya Kopi Kapal Api.

“Mas, Ranti boleh tanya enggak?”

“Tanya apa?”

“Sekarang jaman kan sudah maju. Ada banyak cara untuk mengucapkan selamat lebaran kepada orang lain. Mulai dari SMS sampai broadcast di Whatsapp dan...”

“Aku sudah tahu apa yang mau kamu tanyakan.” Tarjo memotong perkataan Ranti.

“Kamu pasti melihat beberapa Kartu Lebaran di atas meja kamarku.” Lanjutnya.

“Iya Mas. Bukannya lebih ribet dan banyak biaya ya kalau pakai Kartu Lebaran? Kalau pakai brodcast BBM atau WA kan gratis, Mas.” ujar Ranti.

Tarjo tak langsung menjawab. Ia menyulut rokok kretek yang sedari tadi ia selipkan di telinga lalu menghisapnya dalam-dalam.

“Memang benar yang kamu katakan. Jaman sekarang lebih mudah dengan banyaknya media seperti yang kamu katakan tadi. Tetapi karena saking gampangnya, nilainya malah jadi berkurang.”

Ranti diam mencerna kata-kata kakaknya. Ia tak menyangka kakaknya yang hampir DO dari kampus tersebut mampu mengeluarkan bahasa yang maha berat untuk dicerna otaknya.

Tarjo melanjutkan, “Saya tanya sekarang, apakah kamu selalu membalas ucapan Idul Fitri yang di broadcast temanmu melalu aplikasi chatting tadi?”

Ranti diam sejenak, “Enggak selalu sih, Mas.”

“Kenapa?”

“Ranti merasa kalau orang yang broadcast itu gak niat-niat amat ngucapinnya. Semacam perasaan bahwa ucapan itu bukan untuk Ranti saja, sehingga kalau Ranti tidak membalasnya pasti ada orang lain yang membalas.”

“Nah, tepat sekali. Mengucapkan Idul Fitri melalui sosmed atau gadget itu terasa kurang spesial. Beda kalau pakai Kartu Lebaran, Kita kan harus mengeluarkan uang buat beli kartu dan biaya ngirimnya. Selain itu kita juga harus repot jalan ke kantor pos.”

Ranti menimpali, “ Iya cukup ribet juga, Mas.”

“karena ribetnya maka orang yang kita kirimi akan merasa bahwa dirinya sangat dispesialkan oleh pengirim. Kita rela ber-ribet ria demi dia”

“Bener juga ya, Mas.”

Tarjo menyeruput kembali kopinya yang sudah tidak terlalu panas. 

Ranti melanjutkan, “Ehh.... berarti selama ini Mas Tarjo menyepesialkan Ranti ya. Kan tiap lebaran Mas Tarjo ngirim Kartu Lebaran buat Ranti melalui Kantor Pos. Padahal kan kita tinggal serumah. Duuhh senengnya... makasih ya Mas Tarjo.”

“Emm... sebenarnya enggak gitu juga sih.” kata Tarjo

Ranti terdiam seketika. Menantikan kelanjutan perkataan kakaknya.

“Saya sebenarnya naksir sama pegawai Kantor Pos nya.”

Ranti langsung beranjak dari tempat duduknya sambil bergumam lirih, “Dasar kakang gemblung..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar